Antara Bencana dan Kelalaian: Force Majeure dalam Perspektif Kerugian Negara

Artikel: (Studi Kasus Galodo di Lembah Anai, Sumatera Barat, 2025)
Ditulis oleh: Ir. Roy Junichove

Abstrak

Peristiwa banjir bandang (galodo) di kawasan Lembah Anai, Sumatera Barat, pada tahun 2025 mengakibatkan putusnya akses jalan nasional, kerusakan infrastruktur, gangguan distribusi logistik, serta korban jiwa. Dalam konteks hukum administrasi publik, bencana semacam ini sering dikategorikan sebagai force majeure. Artikel ini mengkaji secara kritis penerapan konsep tersebut dengan mempertanyakan apakah galodo merupakan peristiwa alamiah semata atau mengandung unsur kelalaian manusia yang berdampak pada kerugian negara. Melalui pendekatan kualitatif-deskriptif dan telaah literatur hukum serta kebencanaan, tulisan ini menekankan pentingnya membedakan antara kejadian alam yang tak terhindarkan dan bencana yang dipicu oleh lemahnya tata kelola ruang, perencanaan, dan mitigasi risiko.

Kata kunci: force majeure, galodo, kerugian negara, kelalaian, manajemen risiko bencana.

Pendahuluan

Lembah Anai merupakan kawasan strategis pada jalur nasional Padang–Bukittinggi dengan kontur geografis berupa tebing curam, aliran sungai deras, serta hutan lindung. Karakter alamiah ini menyimpan potensi bahaya hidrometeorologis seperti longsor dan banjir bandang. Pada 2025, BMKG telah memprediksi intensitas curah hujan ekstrem di wilayah Sumatera Barat yang berpotensi memicu galodo dengan membawa material kayu, batu, dan lumpur. Bencana tersebut kemudian memutus badan jalan nasional dan merusak fasilitas pendukung transportasi.

Sejumlah instansi secara cepat mengategorikan peristiwa ini sebagai bencana alam yang masuk dalam klausul force majeure dalam berbagai dokumen kebijakan maupun kontrak infrastruktur. Namun muncul pertanyaan mendasar:
Apakah galodo tersebut benar-benar berada di luar kendali manusia?
Atau justru merupakan akumulasi dari kelalaian tata kelola ruang, pembukaan lahan berlebihan, lemahnya sistem peringatan dini, dan minimnya mitigasi struktural di kawasan rawan?

Tanpa evaluasi kritis, klaim force majeure dapat menimbulkan ruang abu-abu yang berpotensi mengaburkan akuntabilitas serta menutupi kerugian negara yang nyata.

Landasan Teori

  1. Force Majeure dalam Hukum Perdata dan Konstruksi

Dalam hukum perdata, force majeure merujuk pada peristiwa luar biasa yang tidak dapat diprediksi atau dicegah, sehingga membebaskan pihak yang terikat kontrak dari tanggung jawab. Klausul ini lazim dicantumkan dalam kontrak jasa konstruksi untuk melindungi para pihak apabila terjadi bencana alam, perang, atau keadaan darurat lainnya.

Namun syarat utama yang harus dipenuhi adalah:

tidak adanya unsur kelalaian,
manusia benar-benar tidak mampu mencegah atau mengendalikan kejadian tersebut.

  1. Ambiguitas antara Bencana Alam dan Kelalaian Manusia

Di negara rawan bencana seperti Indonesia, batas antara peristiwa alam dan kelalaian manusia kerap kabur. Ketika pembangunan tetap dipaksakan di kawasan rawan, pelanggaran sempadan sungai terjadi, tutupan hutan berkurang, dan daerah tangkapan air rusak maka potensi bencana tidak lagi murni bersifat alamiah.

Dalam kondisi demikian, penggunaan force majeure menjadi problematik karena bencana yang dapat diprediksi justru dianggap tak terelakkan.

  1. Konsep Kerentanan dan Mitigasi Risiko

Kajian kebencanaan menjelaskan bahwa bencana merupakan hasil interaksi antara bahaya alam (natural hazard) dan kerentanan manusia (social vulnerability). Dengan tata ruang berbasis risiko, pelestarian lingkungan, pembangunan pengendali banjir, dan sistem peringatan dini yang memadai, bencana dapat diminimalkan. Bencana menjadi besar ketika manusia gagal mengantisipasi ancaman tersebut.

Dalam studi mega project, sering ditemukan kecenderungan mengecilkan risiko lingkungan demi mengejar manfaat ekonomi. Ketika bencana terjadi, kerusakan yang muncul justru berlipat ganda dan negara harus menanggung biaya pemulihan yang sangat besar sering kali semuanya ditutupi dengan label force majeure.


Pembahasan

Peristiwa galodo Lembah Anai 2025 menimbulkan dampak luas: kerusakan jalan nasional, terhentinya arus barang dan manusia, gangguan aktivitas ekonomi, serta korban jiwa. Negara kemudian harus menanggung biaya rehabilitasi dan rekonstruksi dalam jumlah besar, selain kerugian tidak berwujud seperti trauma sosial, hilangnya mata pencaharian, dan kerusakan ekosistem.

Jika peristiwa ini langsung dimaknai sebagai force majeure tanpa audit risiko dan evaluasi kelalaian, maka berbagai pertanyaan penting menjadi terabaikan:

  1. Apakah kawasan tersebut telah dipetakan sebagai zona rawan?
  2. Apakah terjadi pelanggaran sempadan sungai atau pembukaan lahan ilegal di hulu?
  3. Apakah sistem drainase, penguat lereng, dan infrastruktur pengendali telah direncanakan dan dipelihara dengan baik?
  4. Apakah sistem peringatan dini telah berfungsi optimal?

Tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, pihak terkait dapat dengan mudah mengklaim bahwa peristiwa tersebut adalah force majeure demi memutihkan kegagalan tata kelola. Dampaknya adalah “kerugian negara yang terlupakan”—yakni kerugian yang tidak semata-mata disebabkan oleh alam, tetapi oleh rangkaian keputusan manusia yang lalai, tidak cermat, atau tidak berintegritas.

Kesimpulan

Kasus galodo Lembah Anai 2025 menunjukkan bahwa batas antara bencana alam dan kelalaian manusia sangat tipis. Mengategorikan peristiwa ini sebagai force majeure tanpa evaluasi mendalam berpotensi menghapus dimensi pertanggungjawaban hukum, administratif, maupun moral.

Diperlukan pendekatan baru dalam memaknai bencana, bukan hanya sebagai musibah alam, tetapi juga sebagai indikator kegagalan perencanaan, pengawasan lingkungan, dan manajemen risiko. Evaluasi menyeluruh, audit lingkungan, dan peninjauan standar pembangunan di kawasan rawan menjadi langkah penting agar negara tidak terus-menerus menanggung kerugian yang sebenarnya dapat dicegah.