PADANG PANJANG – Di bawah langit malam yang mulai temaram, suara tepukan tangan berpadu dengan hentakan langkah dan dendang tradisi. Di halaman sederhana di Kelurahan Kampung Manggis, puluhan anak muda berlatih dengan penuh semangat. Mereka bukan sekadar menari, tetapi sedang menjaga warisan leluhur seni Randai, kebanggaan budaya Minangkabau yang nyaris terlupakan. Sabtu 25/10/25.
Semuanya tergabung dalam Sanggar Seni Jembatan Aia Putiah, komunitas seni yang tumbuh dari keinginan anak-anak setempat untuk kembali mempelajari dan menghidupkan tradisi Randai. Di bawah bimbingan Edi Satria, S.Sn., M.Sn. (Mak Itam) Dosen ISI Padang Panjang Jurusan Produksi Media, mereka perlahan mengembalikan denyut kehidupan seni tradisional di jantung Kota Serambi Mekkah itu.

Belajar Randai dari Semangat Anak Nagari
Didirikan oleh Rusda dan Hilda Ramadani, sanggar ini kini memiliki 29 anggota dari kalangan pelajar SD, SMP, dan SMA. Mereka rutin berlatih dua kali seminggu, setiap Jum’at malam dan Sabtu malam. Dalam setiap latihan, suara tawa dan teriakan berpadu dengan irama langkah kaki, menciptakan suasana yang penuh energi dan kebersamaan.
Sementara itu menurut Rezki Suci Amalia, koordinator dan juga salah satu penggerak sanggar, mengatakan, inisiatif berdirinya kelompok ini justru datang dari anak-anak sendiri.
“Awalnya mereka yang meminta agar ada tempat belajar Randai. Mereka ingin tahu, ingin bisa, dan ingin menjaga seni tradisi ini. Dari semangat itulah kami mulai,” ungkapnya.

Menjaga Warisan, Melawan Lupa
Randai bukan sekadar hiburan rakyat. Di dalamnya terkandung nilai-nilai gotong royong, disiplin, sopan santun, dan kebijaksanaan. Melalui cerita-cerita yang disampaikan dalam bentuk pantun dan gerak, Randai menjadi media pendidikan sosial yang kaya akan makna.
Kini, lewat dukungan program HJK Pemko Padang Panjang yang melibatkan tiga daerah, Kampung Manggis, Tanah Hitam, dan Kubu Gadang, sanggar ini menjadi simbol semangat anak nagari dalam menjaga jati diri budaya Minangkabau.
Bertahan di Tengah Keterbatasan
Namun, perjalanan mereka tidaklah mudah. Sanggar Jembatan Aia Putiah masih menghadapi berbagai keterbatasan, mulai dari minimnya sarana dan prasarana, seperti kostum, hingga alat musik yang sebagian masih harus dipinjam dari sekolah-sekolah yang ada. Bahkan, mereka belum memiliki sekretariat tetap untuk berlatih dan berkumpul
“Masih banyak kekurangan yang harus kami penuhi, tapi semangat anak-anak tidak pernah padam. Kami yakin, kalau semua pihak mau peduli, Randai akan kembali jadi kebanggaan Padang Panjang,” ujar Rezki penuh harap.
Tambah Rezki, menegaskan, Randai memiliki nilai filosofis yang dalam dan sangat relevan bagi generasi muda. “Randai bukan sekadar seni pertunjukan. Di dalamnya ada nilai kebersamaan, kedisiplinan, dan rasa hormat. Kalau anak-anak sekarang tidak belajar, siapa lagi yang akan melanjutkan? Saya melihat semangat mereka luar biasa, inilah yang harus kita rawat,” ujarnya.
Lanjutnya, saat ini sanggar tengah dalam proses legalitas resmi, kedepan agar bisa lebih mudah berkolaborasi dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seni daerah. Kita juga berencana mengadakan latihan bersama dengan kelompok Randai dari daerah lain, sebagai upaya memperluas wawasan dan mempererat silaturahmi antar pelaku seni tradisional.
Di tengah gempuran budaya modern, suara tepukan tangan dan syair Randai dari Kampung Manggis menjadi pengingat bahwa tradisi tidak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu untuk dihidupkan kembali oleh tangan-tangan muda yang mencintainya. (P)
