Kepala BPR Cabang Batipuh Diduga Lakukan Pemerasan, Masyarakat Soroti Proses Kasus Fidusia

PADANG PANJANG– Kasus dugaan tindak pidana fidusia antara Kepala BPR Pariangan Cabang Batipuh, Ronni Gusra, dengan nasabahnya, Fauza Hamda, terus menuai sorotan publik. Hal ini bermula dari percakapan WhatsApp yang beredar, di mana Ronni diduga meminta uang sebesar Rp70 juta untuk mencabut laporan polisi.

Kasus ini tercatat dalam LP/B/63/VI/2025/SPKT/POLRES PADANG PANJANG/POLDA SUMBAR, tertanggal 26 Juni 2025. Laporan dibuat oleh Ronni Gusra selaku Kepala Cabang BPR terhadap nasabahnya atas dugaan kejahatan fidusia. Namun, bukti percakapan yang tersebar justru memperlihatkan dugaan pemerasan oleh pihak pelapor sendiri.

Dalam pesan yang dikirimkan ke Fauza Hamda pada Senin, 29 September 2025 pukul 10.26 WIB, Ronni menulis:
“Assalamualaikum. Untuk pencabutan laporan, ibuk stor Rp70.000.000,-. Mobil ambiak lah dek ibuk. Motor agihan ka BPR.”

Setelah isu ini mencuat, Ronni mengirimkan surat klarifikasi kepada media ini, Rabu (01/10/2025) yang menegaskan tidak ada keterlibatan pihak kepolisian dalam permintaan uang tersebut. Meski demikian, klarifikasi itu dinilai tidak menjawab substansi tuduhan, mengingat isi pesan jelas dikirimkan dari nomor WhatsApp yang bersangkutan.

Dari hasil penelusuran lebih lanjut, tindakan Ronni dapat mengarah pada sejumlah dugaan pelanggaran hukum yang ditemukan, antara lain:

-Pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP, dengan ancaman pidana maksimal 9 tahun penjara.

-Pemalsuan data (jika terbukti ada manipulasi dokumen atau informasi), sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP.

-Pencemaran nama baik melalui sarana elektronik sesuai Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang ITE.

-Pelanggaran SOP perbankan, yang dapat berimplikasi pada sanksi administratif maupun pidana sesuai UU Perbankan No. 10 Tahun 1998.

Masyarakat menilai, tindakan yang dilakukan Ronni bukan saja mencederai kredibilitas lembaga perbankan, tetapi juga menimbulkan persepsi negatif terhadap kepolisian yang menangani perkara.

Sementara itu, saat di konfirmasi, Kasat Reskrim Polres Padang Panjang IPTU ARY ANDRE, JR, S.H.,M.H., mengatakan dengan tegas, terkait permintaan uang cabut laporan, bisa dipastikan tidak ada kami melakukan hal tersebut.

Terpisah, FADHILAH TSANI, S.H.I., M.S.H., CPM, C.I.C.L. selaku Praktisi Hukum menanggapi persoalan tersebut, mengenai dugaan pemerasan yang serius ini. Jika percakapan yang beredar memang benar adanya ini sudah mengacu ke ranah dugaan tindak Pidana Serius, karena kalau dilihat secara kasat mata dari isi pesan tersebut sudah dapat memenuhi unsur Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan, dengan ancaman pidana hingga 9 tahun penjara. Pemerasan tidak selalu harus berbetuk ancaman fisik saja, posisi dan kewenangan yang digunakan untuk menekan pihak lain agar menyerahkan uang juga bisa dianggap pemaksaan.

Apalagi dalam konteks ini, permintaan uang dilakukan dengan iming-iming pencabutan laporan polisi. Hal ini tentu jelas menimbulkan dugaan bahwa hukum dijadikan alat tawar-menawar kepentingan pribadi.

Lanjutnya menyampaikan, dampak terhadap kredibilitas bank adalah Lembaga yang berdiri atas dasar kepercayaan. Bila pejabat bank terbukti meminta uang di luar mekanisme resmi, itu bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi juga merupakan Pelanggaran hukum perbankan. Dan ada sanksi tegas terhadap Tindakan yang merugikan nasabah maupun menggerus integritas Lembaga.

Dalam kasus ini tidak hanya merugikan pihak nasabah, tetapi juga merusak citra seluruh Lembaga keuangan yang seharusnya berdiri diatas prinsip integritas dan transparansi.

Sambungnya menjelaskan, perlunya pemisahan beberapa perkara. Publik perlu memahami bahwa ada beberapa kasus dengan dugaan yang berbeda yang kini berjalan bersamaan, yaitu;

-Laporan fidusia yang dilayangkan BPR terhadap nasabah.

-Dugaan pemerasan oleh pihak Pelapor sendiri.

-Pencemaran Nama Baik (UU ITE).

-Pelanggaran SOP Perbankan
Jika kesemua kasus ini bercampur tanpa pemisahan yang jelas, dikhawatirkan proses hukum akan bias.

Penyidik harus berani menelusuri kesemuanya secara independent, agar tidak ada pihak yang berlindung dibalik laporan hukum untuk menutupi dugaan tindak pidana lain. Transparansi penyidikan adalah kunci agar kasus ini tidak berkembang menjadi opini liar dan merusak wibawa institusi kepolisian.

Hukum harus menjadi panglima. Kasus ini seharusnya menjadi alarm bahwa praktik-praktik “Barter Laporan” atau kriminalisasi nasabah dengan imbalan uang tidak boleh dibiarkan. Jika benar terbukti, saksi pidana harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Selain itu OJK sebagai regulator perlu turun tangan memeriksa kepatuhan hukum yang bersangkutan.

“Kasus ini menjadi pengingat bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat tawar-menawar. Jika benar terbukti, sanksi pidana dan sanksi administrative harus ditegakkan tanpa kompromi. Publik berhak melihat bahwa hukum berdiri di atas kepentingan semua pihak, bukan bisa diperdagangkan oleh oknum tertentu. Hanya dengan begitu, kepercayaan terhadap Lembaga perbankan dan penegakan hukum dapat Kembali ditegakkan,” tutupnya.

Media ini akan terus mengawal perkembangan kasus hingga ada kepastian hukum, baik terhadap dugaan pemerasan maupun kejahatan fidusia yang sebelumnya dilaporkan. (P)